Aku termasuk pelajar yang pemalas waktu masih sekolah. Aku juga tidak pernah suka dengan pelajaran hafalan. Hampir setiap buku tulis kosong. Bukan karena hemat buku or hemat tinta bolpen. Tapi tiap ada jadwal pelajaran yang isinya mencatat, pasti aku malaz tuk ikut mencatat. Aku lebih baik menggunakan jasa fotokopi (ya itung-itung bagi-bagi rejeki gitulah sama yang punya fotokopi. Hehe..).
I LOVE MATEMATIKA
Tapi aku tidak pernah malas jika ketemu soal matematika, terutama soal itungan yang lumayan rumit dan bikin penasaran. Aku suka matematika. Aku suka itungan.
CATATAN = BARANG LANGKA
Pernah suatu hari mami mau jual buku-bukuku ke tukang loak, tapi buru-buru aku cegah. Satu alasan kenapa aku tidak mau bukuku dijual, karena kalo buku itu ada tulisan n catatanku, maka buku itu merupakan buku langka yang harus disimpan di museum pribadiku, karena aku jarang-jarang mencatat.
HASILNYA?
Tiga tahun sekali aku menghadapi yang namanya UJIAN NASIONAL. Aku selalu kebingungan cari pinjeman buku catatan teman. Tapi aku tidak pernah takut ketemu UNAS Matematika. Karena aku yakin bisa. Emang aku tidak pernah punya catatan. Tapi aku sering berlatih dengan soal-soal. Aku tidak pernah menghafalkan rumus. Tapi dengan bekal pengalaman dan sering latihan soal aku yakin pasti bisa mengerjakan soal UNAS Matematika. Dan hasil tiap UNAS Matematikaku lumayan. Tidak mengecewakan. Tapi bagiku membanggakan. Nilai UNAS Matematikaku 10,00 teruz. Nilai yang sempurna dan patut dibanggakan bagi seorang pemalas seperti aku.
NB: DON'T TRY THIS AT HOME!
WELLCOME
Wa'alaikum salam.
Selamat Datang
Jangan pernah lewatkan isi-isi artikel yang menarik dalam Blog ini. Kasih saran yang membangun. Sisipkan Komentar Kamu di setiap artikel.
Terima Kasih.
Selamat menbaca........
Selamat Datang
Jangan pernah lewatkan isi-isi artikel yang menarik dalam Blog ini. Kasih saran yang membangun. Sisipkan Komentar Kamu di setiap artikel.
Terima Kasih.
Selamat menbaca........
Mengenai Saya
Kamis, 15 Oktober 2009
Sabtu, 10 Oktober 2009
Kuliah di New Zealand
Sejumlah kota di Selandia Baru kini menjadi pilihan baru bagi lulusan SMA dari Indonesia. Selain karena situasinya yang aman dan mendukung suasana belajar, biaya kuliah di negara yang ada di kawasan Pasifik ini juga relatif murah dibandingkan di Eropa.
Sekretaris I Fungsi Ekonomi Kedubes RI di Selandia Baru Subandrio di Auckland, Selasa (15/9), mengatakan, biaya kuliah di Selandia Baru berkisar Rp 90 juta setahun. Adapun biaya hidup juga lebih murah dibandingkan di Eropa.
Sebelumnya, Dubes RI untuk Selandia Baru Amris Hasan seusai acara dialog bisnis Indonesia yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Auckland menyatakan, jumlah mahasiswa Indonesia di Selandia Baru makin tahun makin banyak. Kalau tiga-empat tahun yang lalu baru 200-an, tahun ini sudah mencapai 600-an. Itu belum termasuk para perwira Polri yang sering dikirim tugas belajar di Negeri Kiwi ini.
Subandrio menambahkan, bukan hanya dari Indonesia yang jumlahnya terus bertambah, melainkan juga dari negara-negara Asia lainnya. Mereka tersebar di sejumlah perguruan tinggi yang ada di sejumlah kota. Untuk fakultas teknik dan hukum, misalnya, umumnya di University of Auckland. Adapun di Universitas Wellington biasanya untuk pertanian dan peternakan.
Menyenangkan
Sekretaris II Fungsi Ekonomi Kedubes RI di Selandia Baru Gufron Hariyanto menambahkan, sekarang ini bahkan mulai banyak anak-anak SMA yang sekolah di Selandia Baru. Bahkan, ada anak Taiwan yang SMP-nya di Selandia Baru. "Untuk tingkat SD sampai SMA, sekolah di sini gratis," kata Gufron.
Kalaupun ada biaya untuk anak-anak asing, biayanya sangat murah. "Sudah begitu, pelajaran di sini tidak banyak. Cara ngajar-nya juga lebih menyenangkan sehingga anak-anak senang. Tidak stres," kata Gufron yang dua anaknya kini sekolah di SMP dan SD.
Ia lalu bercerita pengalamannya ketika anak-anaknya pindah sekolah ke Jakarta dari Venezuela. "Mereka stres karena sering diledek teman-temannya kalau tidak bisa mengerjakan soal atau menjawab pertanyaan guru. Padahal, mereka kan anak baru," tuturnya.
Akibatnya, kata Gufron, setiap hari mereka menangis dan minta pulang ke Venezuela. "Kalau di sini (Selandia Baru) teman-temannya menyenangkan. Kalau ada kesulitan, mereka justru dibantu," kata Gufron yang asal Kulonprogo, DIY, itu.
Sekretaris I Fungsi Ekonomi Kedubes RI di Selandia Baru Subandrio di Auckland, Selasa (15/9), mengatakan, biaya kuliah di Selandia Baru berkisar Rp 90 juta setahun. Adapun biaya hidup juga lebih murah dibandingkan di Eropa.
Sebelumnya, Dubes RI untuk Selandia Baru Amris Hasan seusai acara dialog bisnis Indonesia yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Auckland menyatakan, jumlah mahasiswa Indonesia di Selandia Baru makin tahun makin banyak. Kalau tiga-empat tahun yang lalu baru 200-an, tahun ini sudah mencapai 600-an. Itu belum termasuk para perwira Polri yang sering dikirim tugas belajar di Negeri Kiwi ini.
Subandrio menambahkan, bukan hanya dari Indonesia yang jumlahnya terus bertambah, melainkan juga dari negara-negara Asia lainnya. Mereka tersebar di sejumlah perguruan tinggi yang ada di sejumlah kota. Untuk fakultas teknik dan hukum, misalnya, umumnya di University of Auckland. Adapun di Universitas Wellington biasanya untuk pertanian dan peternakan.
Menyenangkan
Sekretaris II Fungsi Ekonomi Kedubes RI di Selandia Baru Gufron Hariyanto menambahkan, sekarang ini bahkan mulai banyak anak-anak SMA yang sekolah di Selandia Baru. Bahkan, ada anak Taiwan yang SMP-nya di Selandia Baru. "Untuk tingkat SD sampai SMA, sekolah di sini gratis," kata Gufron.
Kalaupun ada biaya untuk anak-anak asing, biayanya sangat murah. "Sudah begitu, pelajaran di sini tidak banyak. Cara ngajar-nya juga lebih menyenangkan sehingga anak-anak senang. Tidak stres," kata Gufron yang dua anaknya kini sekolah di SMP dan SD.
Ia lalu bercerita pengalamannya ketika anak-anaknya pindah sekolah ke Jakarta dari Venezuela. "Mereka stres karena sering diledek teman-temannya kalau tidak bisa mengerjakan soal atau menjawab pertanyaan guru. Padahal, mereka kan anak baru," tuturnya.
Akibatnya, kata Gufron, setiap hari mereka menangis dan minta pulang ke Venezuela. "Kalau di sini (Selandia Baru) teman-temannya menyenangkan. Kalau ada kesulitan, mereka justru dibantu," kata Gufron yang asal Kulonprogo, DIY, itu.
Hidup Batik Indonesia
Setelah wayang dan keris diakui UNESCO sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia, maka batik pun kini mendapatkan pengakuan itu.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) sudah mengakui wayang pada tahun 2003 dan mengakui keris pada 2005.
"Pengakuan UNESCO terhadap batik itu merupakan proses panjang yang melalui pengujian dan sidang tertutup. Sebelumnya, pada 11-14 Mei 2009 telah dilakukan sidang tertutup dalam penentuan di hadapan enam negara di Paris," kata Menkominfo Muhammad Nuh beberapa waktu lalu.
Untuk tanggal 2 Oktober di Abu Dhabi itu, kata Nuh yang juga Menteri Ad-Interim Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) itu, merupakan sidang terbuka sebagai acara pengukuhan.
Dalam keterangan pers Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) menyebutkan hari kedua sidang UNESCO "Intergovernmental Committee for Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage" di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, antara lain membahas evaluasi nominasi inskripsi pada Daftar Representatif mengenai Budaya bukan benda Warisan Manusia.
"Dalam ’Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity’ itu, Batik Indonesia disebutkan dalam Rancangan Keputusan 13.44 yang diharapkan dapat disahkan pada sidang akhir pada 2 Oktober 2009 malam," kata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Depbudpar, Tjetjep Suparman, yang memimpin delegasi Indonesia pada sidang ke-4 komite itu.
Lantas, bagaimana dengan batik yang konon juga ada di negara lain seperti Malaysia, Jepang, China, India, Afrika, Jerman, Belanda, dan negara lainnya?
"Batik Indonesia berbeda dengan batik milik Malaysia dan China, karena negara ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki negara lain," kata Ketua Asosiasi Tenun, Batik, dan Bordir Jawa Timur, Erwin Sosrokusumo.
Menurut dia, batik asli Indonesia bukan produksi pabrikan (printing/cap/kain bermotif batik), meski ada pula batik cap yang juga termasuk batik khas Indonesia.
"Batik Indonesia sebenarnya sudah dikenal bangsa lain sejak zaman Kerajaan Jenggala, Airlangga, dan Majapahit, namun saat itu bahan utamanya didatangkan dari China. Penyebabnya, kain sebagai bahan dasar membatik sulit diperoleh di Indonesia. Untuk itu, batik memang harus diklaim Indonesia dan bukan negara lain yang mengaku-aku," katanya.
Menanggapi pengakuan tersebut, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, Arifin T. Hariadi, merasa bangga karena batik sebagai warisan nenek moyang Indonesia bisa memperoleh pengakuan internasional.
"Kerajinan Batik Indonesia sudah sepantasnya diangkat menjadi warisan budaya dunia. Untuk itu, bangsa Indonesia tidak perlu khwatir jika negara lain mengakui batik menjadi miliknya," katanya.
Menurut dia, klaim yang dilakukan Malaysia dan China dengan alasan memproduksi batik, tentu perlu dilihat bahwa produk itu bukan batik sebenarnya alias "printing" (kain bermotif batik produksi pabrik).
"Kami bersyukur konsep batik kita sulit ditiru karena memiliki ciri khas tertentu, karena itu dengan adanya pengakuan dunia itu, maka seluruh lapisan masyarakat Indonesia ke depan, khususnya Jatim, harus lebih mencintai produk batik dan produk dalam negeri. Minimal mereka berkenan memakai batik satu kali dalam sepekan," katanya.
Seni batik di Jawa Timur berkembang di kawasan pesisir, seperti halnya penyebaran Agama Islam di ranah Jawa dengan Wali Songo-nya (lima di antaranya berada di Jatim), semuanya berawal dari pesisir.
Di Tuban dengan Gedog-nya, di Lamongan dengan Pacirannya, dan Surabaya dengan batik Mangrove, Sidoarjo dikenal dengan batik Jetis serta Kenongo, di Madura maupun Banyuwangi dengan Gajah Uling-nya, semuanya berada di wilayah Pantai Utara (Pantura), sedangkan di Selatan berkembang Batik Baronggung di Tulungagung.
Motif batik tulis pesisir Jatim, sarat dengan nuansa flora dan fauna maupun benda yang memadukan budaya lokal, Islam dan Tiongkok maupun Eropa. Begitu juga perwarnaan mengadalkan bahan-bahan alami (tumbuhan).
Bila masyarakat sudah mencintai dengan memasyarakatkan batik, kata Arifin, pertumbuhan angka penjualan perajin batik, baik Industri Kecil Menengah (IKM) dan Usaha Kecil Menengah (UKM), akan semakin meningkat, apalagi di Jatim sekarang sudah ada 191 sentra IKM, sedangkan di sektor batik dan bordir ada 5.926 unit.
Hari Batik
Terkait ikhtiar menumbuhkan kecintaan terhadap batik itulah agaknya usul Universitas Kristen Petra (UKP) Jawa Timur untuk menjadikan 2 Oktober --tanggal pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai warisan pusaka budaya dunia (world heritage) dari Indonesia-- menjadi "Hari Batik Nasional" patut didukung.
"Pengakuan UNESCO pada tanggal 2 Oktober itu merupakan peluang untuk didorong menjadi Hari Batik Nasional," kata Ketua Komunitas Batik Surabaya (KiBaS), Lintu Tulistyantoro.
Menurut dosen Desain Interior pada Fakultas Seni dan Desain Komunikasi Visual UKP itu, Hari Batik Nasional itu perlu dicanangkan untuk mengingatkan masyarakat bahwa batik telah menjadi warisan budaya dunia dari Indonesia pada tanggal itu.
"Untuk memperingatinya, kita tidak harus mengenakan baju batik. Namun, untuk menghargai warisan budaya itu sebaiknya kita mengenakan baju batik pada Hari Batik Nasional," katanya, didampingi Kepala Perpustakaan UKP Surabaya, Aditya Nugraha.
Ia mengakui motif yang mirip batik juga ada di Jepang, China, India, Afrika, Jerman, Belanda, Malaysia, dan negara lainnya. Namun, teknik pembuatan dan budaya pertumbuhan batik di Indonesia memiliki kekhasan.
"Batik di Indonesia merupakan teknik membuat motif kain dengan menorehkan canting berisi lilin, sedangkan di negara lain hanya merupakan cetak atau cap (print) bermotif batik, teknologi batik, dan sebagainya," katanya.
Apalagi, kata pria yang meraih Master of Design dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2004 itu, pertumbuhan batik di Indonesia berkembang seiring budaya yang ada, sedangkan di negara lain lebih bersifat industri.
"Saya sudah mengecek kepada seorang rekan di UNESCO tentang alasan menjadikan batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia, ternyata pengakuan UNESCO itu sudah melalui riset bertahun-tahun. Batik di Indonesia ada motif dan filosofi, bukan sekadar produksi," katanya.
Secara terpisah, sosiolog Islam Prof Dr H. Nur Syam, M.Si. menilai, Hari Batik Nasional itu sangat penting, tetapi pakaian batik hendaknya tidak dipaksakan untuk dipakai pada hari itu. "bergantung konvensi (kesepakatan)," ujarnya.
Ia menegaskan, baju batik itu jangan menjadi sebuah pemaksaan, tetapi biarkan menjadi konvensi, seperti pegawai Departemen Dalam Negeri yang mengenakan baju batik pada hari Kamis dan Jumat, atau pegawai dari instansi lain yang berbatik-ria pada setiap hari Jumat.
"Itu bukan instruksi resmi dan tertulis, tetapi menjadi konvensi. Kalau ada Hari Batik Nasional, saya juga setuju," kata rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Terlepas dari itu, UKP akan menyambut pengakuan UNESCO terhadap batik itu dengan menggelar karnaval batik pada tanggal 2 Oktober itu yang dilepas dan diikuti Wali Kota Surabaya Bambang D.H. mulai dari halaman gedung T kampus UKP hingga ke gedung P dengan melewati Jalan Raya Siwalankerto.
Sementara itu, Jurusan Arsitektur Interior di Universitas Ciputra (UC) Surabaya juga merayakan pengakuan UNESCO terhadap batik itu dengan menggelar pameran produk desain batik dan mewajibkan dosen, karyawan, dan mahasiswa mengenakan baju batik pada tanggal itu.
Gubernur Jatim, Soekarwo dalam waktu dekat mengeluarkan surat edaran mengenai kewajiban memakai batik bagi kalangan PNS di Provinsi "Bumi Majapahit", Sebagai tindakan pendahuluan, kebijakan itu akan diterapkan mulai 12 Oktober 2009, bersamaan dengan puncak peringatan Hari Jadi Pemprov.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) sudah mengakui wayang pada tahun 2003 dan mengakui keris pada 2005.
"Pengakuan UNESCO terhadap batik itu merupakan proses panjang yang melalui pengujian dan sidang tertutup. Sebelumnya, pada 11-14 Mei 2009 telah dilakukan sidang tertutup dalam penentuan di hadapan enam negara di Paris," kata Menkominfo Muhammad Nuh beberapa waktu lalu.
Untuk tanggal 2 Oktober di Abu Dhabi itu, kata Nuh yang juga Menteri Ad-Interim Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) itu, merupakan sidang terbuka sebagai acara pengukuhan.
Dalam keterangan pers Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) menyebutkan hari kedua sidang UNESCO "Intergovernmental Committee for Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage" di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, antara lain membahas evaluasi nominasi inskripsi pada Daftar Representatif mengenai Budaya bukan benda Warisan Manusia.
"Dalam ’Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity’ itu, Batik Indonesia disebutkan dalam Rancangan Keputusan 13.44 yang diharapkan dapat disahkan pada sidang akhir pada 2 Oktober 2009 malam," kata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Depbudpar, Tjetjep Suparman, yang memimpin delegasi Indonesia pada sidang ke-4 komite itu.
Lantas, bagaimana dengan batik yang konon juga ada di negara lain seperti Malaysia, Jepang, China, India, Afrika, Jerman, Belanda, dan negara lainnya?
"Batik Indonesia berbeda dengan batik milik Malaysia dan China, karena negara ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki negara lain," kata Ketua Asosiasi Tenun, Batik, dan Bordir Jawa Timur, Erwin Sosrokusumo.
Menurut dia, batik asli Indonesia bukan produksi pabrikan (printing/cap/kain bermotif batik), meski ada pula batik cap yang juga termasuk batik khas Indonesia.
"Batik Indonesia sebenarnya sudah dikenal bangsa lain sejak zaman Kerajaan Jenggala, Airlangga, dan Majapahit, namun saat itu bahan utamanya didatangkan dari China. Penyebabnya, kain sebagai bahan dasar membatik sulit diperoleh di Indonesia. Untuk itu, batik memang harus diklaim Indonesia dan bukan negara lain yang mengaku-aku," katanya.
Menanggapi pengakuan tersebut, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, Arifin T. Hariadi, merasa bangga karena batik sebagai warisan nenek moyang Indonesia bisa memperoleh pengakuan internasional.
"Kerajinan Batik Indonesia sudah sepantasnya diangkat menjadi warisan budaya dunia. Untuk itu, bangsa Indonesia tidak perlu khwatir jika negara lain mengakui batik menjadi miliknya," katanya.
Menurut dia, klaim yang dilakukan Malaysia dan China dengan alasan memproduksi batik, tentu perlu dilihat bahwa produk itu bukan batik sebenarnya alias "printing" (kain bermotif batik produksi pabrik).
"Kami bersyukur konsep batik kita sulit ditiru karena memiliki ciri khas tertentu, karena itu dengan adanya pengakuan dunia itu, maka seluruh lapisan masyarakat Indonesia ke depan, khususnya Jatim, harus lebih mencintai produk batik dan produk dalam negeri. Minimal mereka berkenan memakai batik satu kali dalam sepekan," katanya.
Seni batik di Jawa Timur berkembang di kawasan pesisir, seperti halnya penyebaran Agama Islam di ranah Jawa dengan Wali Songo-nya (lima di antaranya berada di Jatim), semuanya berawal dari pesisir.
Di Tuban dengan Gedog-nya, di Lamongan dengan Pacirannya, dan Surabaya dengan batik Mangrove, Sidoarjo dikenal dengan batik Jetis serta Kenongo, di Madura maupun Banyuwangi dengan Gajah Uling-nya, semuanya berada di wilayah Pantai Utara (Pantura), sedangkan di Selatan berkembang Batik Baronggung di Tulungagung.
Motif batik tulis pesisir Jatim, sarat dengan nuansa flora dan fauna maupun benda yang memadukan budaya lokal, Islam dan Tiongkok maupun Eropa. Begitu juga perwarnaan mengadalkan bahan-bahan alami (tumbuhan).
Bila masyarakat sudah mencintai dengan memasyarakatkan batik, kata Arifin, pertumbuhan angka penjualan perajin batik, baik Industri Kecil Menengah (IKM) dan Usaha Kecil Menengah (UKM), akan semakin meningkat, apalagi di Jatim sekarang sudah ada 191 sentra IKM, sedangkan di sektor batik dan bordir ada 5.926 unit.
Hari Batik
Terkait ikhtiar menumbuhkan kecintaan terhadap batik itulah agaknya usul Universitas Kristen Petra (UKP) Jawa Timur untuk menjadikan 2 Oktober --tanggal pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai warisan pusaka budaya dunia (world heritage) dari Indonesia-- menjadi "Hari Batik Nasional" patut didukung.
"Pengakuan UNESCO pada tanggal 2 Oktober itu merupakan peluang untuk didorong menjadi Hari Batik Nasional," kata Ketua Komunitas Batik Surabaya (KiBaS), Lintu Tulistyantoro.
Menurut dosen Desain Interior pada Fakultas Seni dan Desain Komunikasi Visual UKP itu, Hari Batik Nasional itu perlu dicanangkan untuk mengingatkan masyarakat bahwa batik telah menjadi warisan budaya dunia dari Indonesia pada tanggal itu.
"Untuk memperingatinya, kita tidak harus mengenakan baju batik. Namun, untuk menghargai warisan budaya itu sebaiknya kita mengenakan baju batik pada Hari Batik Nasional," katanya, didampingi Kepala Perpustakaan UKP Surabaya, Aditya Nugraha.
Ia mengakui motif yang mirip batik juga ada di Jepang, China, India, Afrika, Jerman, Belanda, Malaysia, dan negara lainnya. Namun, teknik pembuatan dan budaya pertumbuhan batik di Indonesia memiliki kekhasan.
"Batik di Indonesia merupakan teknik membuat motif kain dengan menorehkan canting berisi lilin, sedangkan di negara lain hanya merupakan cetak atau cap (print) bermotif batik, teknologi batik, dan sebagainya," katanya.
Apalagi, kata pria yang meraih Master of Design dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2004 itu, pertumbuhan batik di Indonesia berkembang seiring budaya yang ada, sedangkan di negara lain lebih bersifat industri.
"Saya sudah mengecek kepada seorang rekan di UNESCO tentang alasan menjadikan batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia, ternyata pengakuan UNESCO itu sudah melalui riset bertahun-tahun. Batik di Indonesia ada motif dan filosofi, bukan sekadar produksi," katanya.
Secara terpisah, sosiolog Islam Prof Dr H. Nur Syam, M.Si. menilai, Hari Batik Nasional itu sangat penting, tetapi pakaian batik hendaknya tidak dipaksakan untuk dipakai pada hari itu. "bergantung konvensi (kesepakatan)," ujarnya.
Ia menegaskan, baju batik itu jangan menjadi sebuah pemaksaan, tetapi biarkan menjadi konvensi, seperti pegawai Departemen Dalam Negeri yang mengenakan baju batik pada hari Kamis dan Jumat, atau pegawai dari instansi lain yang berbatik-ria pada setiap hari Jumat.
"Itu bukan instruksi resmi dan tertulis, tetapi menjadi konvensi. Kalau ada Hari Batik Nasional, saya juga setuju," kata rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Terlepas dari itu, UKP akan menyambut pengakuan UNESCO terhadap batik itu dengan menggelar karnaval batik pada tanggal 2 Oktober itu yang dilepas dan diikuti Wali Kota Surabaya Bambang D.H. mulai dari halaman gedung T kampus UKP hingga ke gedung P dengan melewati Jalan Raya Siwalankerto.
Sementara itu, Jurusan Arsitektur Interior di Universitas Ciputra (UC) Surabaya juga merayakan pengakuan UNESCO terhadap batik itu dengan menggelar pameran produk desain batik dan mewajibkan dosen, karyawan, dan mahasiswa mengenakan baju batik pada tanggal itu.
Gubernur Jatim, Soekarwo dalam waktu dekat mengeluarkan surat edaran mengenai kewajiban memakai batik bagi kalangan PNS di Provinsi "Bumi Majapahit", Sebagai tindakan pendahuluan, kebijakan itu akan diterapkan mulai 12 Oktober 2009, bersamaan dengan puncak peringatan Hari Jadi Pemprov.
Senin, 05 Oktober 2009
Tanggap Gempa
Semua harus siap siaga karena bencana gempa belum berakhir. Untuk itu, penyebarluasan informasi tentang ancaman bencana diperlukan sebagai upaya antisipasi agar jumlah korban dapat dieliminasi.
Di sisi lain, masih banyak pemerintah daerah yang tidak tahu ancaman bencana dan kerawanan bencana di daerah masing-masing.
Selain itu, saat ini perlu segera dilakukan evaluasi skala nasional menyangkut kondisi geologis dan kondisi bangunan-bangunan di setiap wilayah.
Demikian antara lain yang terungkap dari sejumlah wawancara yang dilakukan Kompas, Sabtu dan Minggu (3-4/10), dengan Direktur Humanitarian Forum, yang juga anggota Presidium Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Hening Suparlan, Ketua Tim Kajian Likuifaksi dan Tanah Longsor Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adrin Tohari, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, dan Kepala Bidang Geodinamika Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Cecep Subarya.
”Semua orang harus paham akan ancaman bencana yang ada di sekitarnya sehingga mampu hidup bersama situasi bencana tersebut,” ujar Hening menjelaskan.
Individu harus paham
Hening menegaskan, semua individu harus paham sehingga bisa mengantisipasi bagaimana saat terjadi gempa.
Individu tersebut, pertama, harus mampu melindungi dirinya sendiri. Kedua, harus menginformasikan kepada keluarganya bagaimana melindungi diri mereka. Ketiga, harus mampu melindungi harta bendanya.
”Mengingatkan keluarga itu penting karena mungkin saat bencana datang, ia tidak bersama keluarganya. Mungkin istri atau suami di tempat lain, anak di sekolah, lalu mereka itu harus bagaimana. Ia harus memberi tahu bagaimana cara-cara penyelamatan diri. Soal harta benda, misalnya mereka lalu mengasuransikan harta bendanya, menyimpan barang-barang berharga dengan lebih aman, mengatur listrik agar tak mudah terjadi hubungan pendek, mengatur jalur evakuasi di rumah, dan lain-lain,” ujar Hening.
Hal senada dikatakan Surono. ”Untuk itu, butuh kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintahan terkecil. Indonesia merupakan negeri rawan bencana sehingga perlu dibentuk bangsa yang mampu merespons bencana dengan benar,” katanya.
Tugas memberikan informasi secara luas kepada publik ada di tangan pemerintah daerah. Masalahnya, kata Hening, ”Masih jarang pemerintah daerah yang mengerti ancaman bencana yang ada di daerahnya, termasuk bencana gempa.”
Ia mencontohkan, setelah terjadi bencana gempa besar di Yogyakarta tahun 2006, ada bupati yang langsung mencari tahu tentang kondisi daerahnya, tentang ancaman bencana di daerahnya, ke ITB. ”Ia tak ingin kejadian serupa terjadi di wilayahnya,” ujarnya
Kendala lain, kata Surono, adalah jarak kebijakan dengan dampak kepada masyarakat sering kali jauh karena saat penyusunannya belum tentu melibatkan masyarakat dengan baik. ”Kebijakan itu harus disusun bersama-sama masyarakat. Masukan dari para ahli sangat penting,” katanya.
Evaluasi segera
Adrin dan Surono menegaskan perlunya pemerintah daerah segera mengevaluasi kondisi wilayah masing-masing menyangkut kondisi geologis dan memeriksa struktur bangunan demi mengurangi risiko bencana.
”Demi keselamatan warga, evaluasi harus dilakukan segera. Kejadian di Padang dan Jambi patut menjadi pelajaran penting bagi daerah lain,” kata Adrin.
Surono menekankan, ”Belum terlambat bagi setiap daerah untuk memeriksa kondisi wilayah, terutama bangunan seperti hotel atau kantor yang biasa menjadi tempat berkumpul banyak orang.”
Ambruknya Hotel Ambacang di Kota Padang menjadi contoh penting perlunya analisis risiko segera dilakukan.
Kewaspadaan ekstra patut dimiliki daerah ”langganan” gempa. Getaran yang datang rutin secara teknis melemahkan struktur bangunan yang dirancang kuat sekalipun.
”Kasus Hotel Ambacang bisa jadi terkait gempa-gempa kecil sebelumnya yang rutin terjadi di Kota Padang, terutama sejak tahun 2005,” kata Adrin. Oleh karena itu, evaluasi berkala penting dilakukan pengelola gedung atau bangunan.
Untuk mengurangi risiko tersebut, tata ruang yang tepat disesuaikan dengan kerawanan bencana gempa juga dibutuhkan. Saat ini, menurut Cecep, Rancangan Undang-Undang Tata Informasi Geospatial Nasional yang di dalamnya mengatur antara lain tentang perencanaan tata ruang wilayah nasional masih digodok di DPR.
”Yang saya khawatirkan adalah pelaksanaannya nanti kalau sudah disahkan. Siapa yang akan mengecek apakah UU itu dilaksanakan. Apakah izin mendirikan bangunan itu juga sudah menyertakan syarat yang sesuai dengan standar bangunan tahan gempa?” kata Cecep yang terlibat aktif pada penelitian Bakosurtanal tentang percepatan gerak tanah untuk memantau aktivitas lempeng tektonik.
Gempa terus terjadi
Surono menegaskan, gempa akan terus terjadi, sementara gempa dan karakter tanah adalah dua wilayah yang tak bisa direkayasa. ”Gempa pasti akan terus terjadi dan karakter tanah secara luas sulit diubah dengan teknologi. Alamnya sudah begitu,” katanya. Yang bisa dilakukan di antaranya menghindari membangun gedung di kawasan rawan gempa atau meningkatkan kualitas bangunannya.
Hening menyarankan, pemerintah daerah perlu merencanakan pemindahan daerah permukiman dan gedung-gedung publik yang berdiri di atas daerah sangat rawan gempa demi mengurangi risiko bencana, atau segera memperkuat konstruksi rumah atau bangunan sesuai standar bangunan yang tahan gempa.
Langganan:
Postingan (Atom)
Wassalam
Terima kasih atas kunjungannya. Jangan Lupa untuk meninggalkan Pesan dan Kesan. Kasih coment yach..... Sampai jumpa lagi.